7 Kapal Perang Disiagakan : Dua Skenario Indonesia di Laut China Selatan


Sepuluh mesin jet tempur TNI Angkatan Udara meraung di atas padang semak belukar di Desa Buding, Kecamatan Kelapa Kampit, Belitung. Tujuh unit Hawk 109-209 dan tiga unit F-16 dari Pangkalan Udara Pekanbaru dan Pontianak berseliweran di atas padang seluas 200 hektare itu. Pesawat-pesawat itu menjatuhkan puluhan bom MK 82 dan menembakkan roket fin folding aerial rocket ke tiga buah target.

Panglima Komando Operasi Wilayah 1 TNI AU Marsekal Muda A. Dwi Putranto mengatakan dalam latihan perang pada awal Juni lalu itu, Belitung diibaratkan sebagai Natuna, pulau terluar Indonesia yang menghadap Laut Cina Selatan. Dalam simulasi perang tersebut, Pulau Natuna sudah dikuasai negara asing. Tugas TNI AU merusak kantong markas musuh. “Latihan ini sebagai persiapan latihan gabungan TNI di Natuna nanti,” kata Dwi, awal Juni lalu.

Apakah Natuna memang terancam? Seorang perwira di TNI AU mengatakan latihan perang di Belitung dan rencana latihan gabungan di Natuna merupakan persiapan pemerintah untuk menghadapi perkembangan konflik Laut Cina Selatan yang semakin panas. Walau tak ikut berkonflik, Indonesia bakal kena efeknya jika perang terjadi. Dalam kondisi itu, Natuna paling berisiko karena dekat dengan tempat sengketa. “Dalam latihan perang, TNI ingin tunjukkan kekuatan dan kedaulatan di Natuna,” kata perwira itu.

Sebagian perairan Natuna disebut-sebut diklaim bagian dari wilayah perairan Tiongkok karena masuk Laut China Selatan. Kondisi ini membuat situasi kian memanas karena beberapa negara lain juga mengklaim.

Merespon situasi yang memanas di Laut China Selatan itu, TNI mengirimkan tujuh kapal perang (KRI) dan beberapa unit pesawat patroli maritim yang dilengkapi dengan peralatan tempur. Tujuannya, untuk memberi deterrent effect kepada sejumlah negara yang bersengketa di wilayah perairan tersebut.

“Kita siagakan tiga KRI dan Pesut Patmar (pesawat udara patroli maritim, red),” kata Kepala Dinas Penerangan TNI AL (Kadispenal) Laksamana Muda (Laksma) Muhammad Zainuddin Selasa (20/10).

Bahkan, tiga KRI tersebut sudah berada Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut IV (Lantamal IV) Tanjungpinang, yang merupakan Lantamal terdekat yang dimiliki Komando Armada Indonesia Kawasan Barat (Koarmabar). Namun, Zainuddin tidak bisa menyebutkan nama ketiga KRI tambahan tersebut.

Dengan penambahan tiga KRI tersebut, sudah tujuh kapal perang yang disiagakan untuk memberikan deterrent effect di kawasan tersebut. Sebelumnya, sudah ada empat KRI yang disiagakan. Selain itu, lanjut Zainuddin, intensitas patroli udara di kawasan juga akan ditingkatkan.

Untuk diketahui, ketegangan di Laut China Selatan belakangan memanas seiring pembangunan tujuh pulau reklamasi yang dilakukan Tiongkok di Kepulauan Spartly. Serta pembangunan landasan udara dan fasilitas militer di Karang Fiery Cross. Kedua tempat tersebut merupakan kawasan yang menjadi sengketa Tiongkok dengan beberapa negara ASEAN dalam beberapa tahun terakhir.

Belakangan Indonesia juga masuk dalam pusaran konflik Laut China Selatan setelah pemerintah Tiongkok mamasukkan sebagian wilayah Natuna ke peta wilayahnya. Meski belum berpengaruh terhadap hubungan Jakarta-Beijing, sikap keras diperlihatkan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dalam beberapa kesempatan.

Terakhir, Gatot menolak ajakan Menteri Pertahanan Tiongkok Chang Wanquan untuk menggelar latihan bersama di Laut China Selatan. Gatot beralasan, semua negara harus menahan diri untuk tidak melakukan aktivitas militer di kawasan tersebut.

Sementara itu, mantan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana (pur) Marsetio mengatakan, penguatan keamanan di kawasan Laut China Selatan sebagai hal yang mutlak dilakukan. “Di situ terdapat sumber energi yang besar,” ujarnya di Kantor Lemhannas, Jakarta.

Sebab, lanjutnya, persoalan energi akan menjadi sumber utama pertikaian antar bangsa di masa mendatang. Sebagai kawasan penyimpan energi, Laut China Selatan menjadi daerah yang rawan. “Perang tidak di eropa lagi, tapi di kawasan yang menyimpan energi,” ujarnya.

Sengketa Laut Cina Selatan melibatkan tujuh negara, yakni Cina, Vietnam, Filipina, Brunei Darussalam, Malaysia, Taiwan, dan Jepang. Cina mengklaim hampir seluruh wilayah perairan itu. Untuk memperkuat klaim, Beijing memerintahkan pembangunan pulau buatan di Kepulauan Spratly. Tentu pembangunan itu menuai kecaman dari enam negara lain.

Pertengahan April lalu, The New York Times merilis sebuah foto satelit pulau buatan Cina seluas ribuan hektare yang hampir rampung. Di dalamnya terdapat landasan pacu pesawat sepanjang 3 kilometer, dua landasan helikopter, dan sepuluh antena satelit mirip radar militer.

Filipina, yang paling dekat dengan pulau buatan itu, merasa gerah. Sebagai antisipasi, Filipina berkomitmen menambah anggaran pertahanan hingga 25 persen dari anggaran belanja negara. Dana itu dibutuhkan untuk memodernisasi alat utama sistem persenjataan mereka yang sudah uzur demi menghadapi ancaman Cina.

Duta Besar Indonesia untuk Filipina, Johny Josephus Lumintang, menganggap wajar keputusan Manila. Sebab, dari sisi ekonomi perikanan saja, negara itu merugi akibat rusaknya biota laut lantaran reklamasi yang dilakukan oleh Cina. “Filipina juga mendapat dukungan dari saudara tuanya, Amerika Serikat,” kata Johny kepada Tempo, Rabu pekan lalu.

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno optimistis Indonesia dan kawasan Laut Cina Selatan tetap aman. Tedjo yakin perang tidak akan terjadi. Sebab, negara yang bersengketa lebih mengutamakan penyelesaian secara diplomatik ketimbang perang. “Tapi kalau sampai terjadi perang, pasti berimbas ke Indonesia,” kata Tedjo, Rabu pekan lalu.

Masalahnya, penyelesaian diplomatik itu tak mudah. Guru besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menyatakan bahwa negara-negara yang bersengketa menutup diri dari dialog antar-mereka. Perlu negara lain yang dianggap netral untuk menengahi sehingga dialog bisa dilakukan. Hikmahanto optimistis Indonesia bisa menjadi penengah dalam dialog tersebut. “Menyelesaikan sengketa memang sulit, tapi minimal Indonesia harus bisa redam terjadinya perang,” kata Hikmahanto.

Menurut Tedjo, hal itu memang akan dilakukan. Indonesia akan mengajak negara ASEAN yang bersengketa untuk berdialog bareng. Pemerintah sudah memerintahkan agar Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan melobi perdamaian dalam sejumlah agenda internasional dan regional.

Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengaku berbicara tentang perdamaian Laut Cina Selatan dalam pertemuan antar-Menteri Pertahanan se-ASEAN di Langkawi, Malaysia, 16 Maret lalu. Ryamizard mengimbau negara-negara yang bersengketa tidak mengangkat senjata. Sebagai solusi, Ryamizard mengajak negara-negara bersengketa melakukan patroli damai bersama di Laut Cina Selatan. “Ini konsep bagus untuk meredam konflik,” kata Ryamizard, awal Juni lalu.

Ryamizard juga berbincang dengan Menteri Pertahanan Cina dalam acara Shangri-La Dialogue di Singapura akhir Mei 2015. Dalam pertemuan Menteri Pertahanan kawasan Asia-Pasifik itu, Ryamizard lagi-lagi menyampaikan konsep patrolinya. “Dalam pertemuan bilateral, Menhan Cina mendengarkan dengan saksama konsep patroli bersama di Laut Cina Selatan,” kata Ryamizard.

Pengamat militer dari Universitas Padjadjaran Muradi mengatakan meski menjadi penengah, pemerintah tak boleh lengah. Pemerintah wajib meningkatkan kemampuan, kekuatan, dan penjagaan di perbatasan Laut Cina Selatan dan sumber daya vital milik Indonesia. “Pemerintah harus bisa yakinkan warganya kalau Indonesia kuat dan aman dari bahaya konflik tersebut,” kata Muradi.

Jika Perang Terjadi
Perang atau tidak ada perang, Laut Cina Selatan tetap harus menjadi perhatian Indonesia. Pengamat kelautan dari Surya University Alan F. Koropitan mengatakan keamanan Laut Cina Selatan berpengaruh bagi ekonomi, visi poros maritim, dan stabilitas kawasan.

- Jalur strategis.
Laut Cina Selatan menghubungkan pelayaran Asia Selatan, Asia Tenggara, Asia Barat, menuju Asia Timur. Perairan itu dilewati 40 persen kapal dagang dunia. Laut Cina Selatan juga menjadi lalu lintas ekspor-impor Indonesia menuju kawasan Asia Timur, seperti Cina, Taiwan, Jepang, dan Korea Selatan. Jika perang terjadi di kawasan laut tersebut, maka akan mengganggu alur perdagangan dunia dan Indonesia.

- Dampak tak langsung. 
Meski tak ikut konflik, jika perang terjadi, keresahan juga dirasakan masyarakat di Tanah Air. Hubungan Indonesia dengan negara-negara yang bersengketa pun renggang dan tak nyaman. Walhasil kelesuan ekonomi bisa terjadi di kawasan ASEAN.

- Klaim Cina.
Konflik di Laut Cina Selatan bisa mempengaruhi kedaulatan Indonesia. Sebab, pada 2014, Beijing dikabarkan mengklaim sebagian wilayah perairan Natuna. Meski Wakil Duta Besar Cina untuk Indonesia, Liu Hongyang, membantah kabar tersebut, pemerintah tetap harus waspada.

0 Response to "7 Kapal Perang Disiagakan : Dua Skenario Indonesia di Laut China Selatan"

Posting Komentar